Our Blog

MY JOURNEY (TLOGO DLINGO - GIRIMANIK)


TELOGO DLINGO – MRUTU – G.MONGKRANG – G.JOBOLARANGAN – TIRTOSARI – MARGITENGAH – G. SEWATU – G. SEMILIR – G.GIRIMANIK -  OBYEK WISATA ALAM GIRIMANIK

(TAWANG MANGU KARANGANYAR – SLOGOHIMO WONOGIRI)

Ini merupakan sebuah catatan perjalanan yang secara subyektif saya buat berdasarkan pada pengalaman. Pemaparan ini bersumber dari apa yang saya lakukan, rasakan, dan pemahaman atas kejadian atau peristiwa yang saya alami.

Walaupun hanya subyektif, namun saya harap bisa bermanfaat dan dapat menjadi sumber referensi bagi teman – teman yang ingin melakukan petualangan gunung hutan di daerah pegunungan lawu selatan.

Yang jelas saya bukanlah orang yang pertama melakukan ini. Banyak petualang – petualang lain yang sudah melakukan perjalanan di daerah ini. Namun ketika saya memiliki keinginan untuk mencoba melakukan petualangan ke daerah ini belum saya temukan literatur yang jelas yang termuat di surat kabar maupun media massa.

Oleh sebab itu saya goreskan sedikit tinta, hanya sebatas dokumentasi pribadi, dan seandainya bermanfaat akan menjadi sebuah kebahagiaan.

Pesan saya hanya sederhana, “jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, boleh berpetualang tapi jangan sampai mengotori, merusak vegetasi, beserta ekosistem yang ada. Biarkan rantai makanan berjalan secara alami. Jangan diganggu, jangan dirusak, biarkan semua berjalan seimbang sesuai dengan kodratnya masing – masing."

Langsung ke point.....

Petualangan  di mulai pada hari Jum`at  tanggal 21 Oktober 2016 pukul 16.00 WIB. Petualangan ini beranggotakan 3 orang, yaitu Ardian Raf Sanjani (alumni Brahmahardhika mapala FKIP UNS), Anang Bachtiar (Anggota Brahmahardhika Mapala FKIP UNS), dan saya.


Kita berangkat dari depan kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta naik bus menuju Tawang Mangu sekitar jam 4 sore. Pada pukul 17.45 kita sampai di terminal Tawang Mangu. Kemudian kita menunaikan Sholat Maghrib dan setelah itu melengkapi kebutuhan yang kita perlukan selama di hutan. Kita merencanakannya selama 5 hari. Suasana pasar Tawang Mangu yang ramah menambah nikmat dan hangat wedang ronde yang kita santap.



Setelah itu kita berangkat menuju ke Telogo Dlingo. Jarak antara Pasar Tawang Mangu menuju ke Telogo Dlingo sekitar 7 km. Ada beberapa alternatif untuk menuju ke sana, yaitu dengan naik angkutan, naik ojek, numpang truck/ pick up sayur, dan hiking ria.

Dari beberapa alternatif tersebut kita memilih untuk hiking ria sambil mencari tumpangan pick up sayur yang menuju ke cemoro sewu atau pun ke cemoro kandang.

Akhirnya setelah melalui hiking yang lumayan kita mendapatkan tumpangan sehingga tiba di Tlogo Dlingo pukul 20.15 WIB.  Sesampainya di sana kita bertemu dengan teman – teman dari Sylvagama, salah satu Mapala di UGM yang sedang melakukan Pendidikan Dasar, teman – teman dari Gopala Valentara (Mapala FH UNS) yang sedang melakukan survey lokasi. 


Setelah ngobrol dan beramah – tamah dengan mereka kita memutuskan untuk langsung berjalan menuju ke lokasi Camp pertama yang kita rencanakan, yaitu di Mrutu pada koordinat S7 40.961 E111 11.385 dengan altitude 1890 mdpl.

Mrutu merupakan tempat yang tidak asing bagi teman – teman pecinta alam, khususnya wilayah Solo – Jogja dan sekitarnya. Karena lokasi ini sangat representatif untuk melakukan pendidikan kepecintaalaman, baik gunung hutan, navigasi darat, manajemen perjalanan, bivak survival, dan lain sebagainya.

Vegetasi di sini termasuk ke dalam vegetasi hutan heterogen. Banyak sekali tumbuh tanaman kategori  tanaman perdu hingga tanaman tingkat tinggi. Beraneka macam fauna juga hidup dan tinggal di sini. Jika teman – teman beruntung, akan dapat menjumpai kijang/rusa, ataupun celeng. Karena banyak terdapat jalur binatang beserta tapak kaki dan kotoran hewan. Di sini juga mengalir sungai yang masih alami yang insyaallah sehat ketika dikonsumsi secara langsung.

Untuk menuju ke Mrutu kita harus melewati daerah yang lebih dikenal dengan sebutan parkiran. Di parkiran juga cocok dibuat camp, karena selain tempatnya yang luas, juga disitu terdapat aliran sungai yang di kenal dengan sebutan jurang jero.

Sektar pukul 21.30 kita sampai di Mrutu, kemudian langsung mendirikan bivak dan memasak sebagai suplai kebutuhan kalori tubuh kita.
Bagi saya bermalam disini, jauh lebih indah dan nyaman dibandingkan bermalam di hotel berbintang sekalipun. Hehehe.

Pagi harinya, Sabtu 22 Oktober 2016 sebelum berangkat kita berjumpa dengan teman – teman dari Magma Gama, Mapala Geologi Unversitas Gajah Mada. Bersama mereka kami berdiskusi ringan seputaran konsep pendidikan dan konservasi sumber daya alam. Walaupupn hanya ringan mudah – mudahan ada manfaatnya, hehe.



Hingga sampai pukul 12.30 WIB kita putuskan untuk berangkat menuju ke Gn. Jobolarangan.

Gunung Jobolarangan menurut beberapa sumber juga disebut sebagai Gunung Lawu Tua. Belum tahu kenapa kok disebut Gunung Lawu Tua, kalau ada yang tahu mohon di share ya... :)

Berdasarkan beberapa informasi dari Masyarakat sekitar, di sana terdapat beberapa mata air, dan air terjun yang masih alami dan sebuah petilasan yang memiliki nilai sejarah. Karena itulah kami tertarik untuk melakukan petualangan di sana.

Gunung Jobolarangan berada pada koordinat   7°41'44.33"S; 111°11'0.84"T, dan berjarak sekitar 1,5 km dari Mrutu bila berjalan lurus tanpa ada kenaikan atau penurunan jalan dan belokan kanan maupun kiri.


Di tengah perjalanan menuju ke Gn. Jobolarangan kita akan menjumpai berbagaimacam vegetasi yang didominasi oleh rumput gajah dan ilalang. Jika kita teliti, kita juga bisa menemukan edelwis.


Panorama alam yang bikin takjub, gagahnya gunung lawu beserta gunung – gunung yang memiliki ketinggian di bawahnya, mulai dari Gunung Sidoramping, Gunung Mongkrang, anak Mitis hingga Gn. Mitis menyajikan bentangan pegunungan dan bukit – bukit yang hijau nan menyejukkan mata.


Menjelang sampai ke Kaki Gunung Jobolarangan kita akan menjumpai perubahan vegetasi dari yang sebelumnya di dominasi oleh rumput gajah dan ilalang menjadi tumbuhan – tumbuhan kelas tinggi, besar, rindang dan sebagian sisinya ditumbuhi lumut.

Hujan, badai, dan angin menyabut kami ketika ketika menginjakkan kaki menuju puncak Gunung Jobolarangan.

Dengan tekad dan perjuangan, pada pukul 17.00 WIB akhirnya kita sampai di atas Gunung Jobolarangan. Setelah memperhatikan kondisi cuaca yang begitu ekstrim, hujan, kabut, serta angin yang kencang, maka kita ngecamp di sedle diantara dua puncak yang berada di gunung Jobolarangan. Tepatnya di 7°41'43.26"S 111°10'54.94"T. Di sini, lokasi nya relatif aman dari terpaan angin secara langsung dan lumayan lebih hangat.

Hujan, badai, dan angin kencang terjadi hingga malam hari. Dan setelah makan malam, kita memutuskan untuk segera beristirahat setelah seharian kita beraktivitas.


Hingga pada sekitar pukul 02.00 WIB saya terbangun dan melihat hujan sudah reda.  Pada waktu itu langit terlihat cerah dan beberapa bintang sudah mulai kelihatan. Namun dibagian selatan terlihat kilatan petir juga terdapat  awan yang saya duga awan cirrostratus

Cirrostratus merupakan awan berbentuk lembar – lembar tipis, terlihat seperti kerudung yang memberikan lingkaran cahaya di seputar matahari dan atau bulan. Hal itu mungkin saja bisa berpotensi hujan dalam kurun waktu 15 jam kemudian jika disertai angin kencang.
Setelah beberapa waktu saya putuskan untuk kembali beristirahat kembali.

Keesokan harinya cuaca cerah, matahari bersinar dengan begitu ramahnya. Kemudian saya putuskan untuk memasang hammook, sekedar ingin lebih menikmati suasana pagi hari dan hangatnya mentari. Sayang sekali, 15 menit kemudian angin bertiup kencang, kabut mulai memadati dan menyelimuti daerah sekitar Gunung Jobolarangan. Dan kami pun belum sempat mengambil gambar yang sudah kita nanti – nantikan sebelumnya. View puncak lawu dari puncak jobolarangan, pemandangan kota karanganyar, magetan dan Wonogiri akhirnya terlewat sudah.

Angin berhembus semakin kencang, dan diikuti dengan guyuran hujan.
Tanda – tanda akan terjadinya badai yang tampak pada awan yang saya duga cirrostratus dini hari tadi terjadi lebih cepat dari perkiraan.


Namun demikian, dalam kondisi cuaca yang seperti itu tidak mengurangi kenikmatan kami dalam bersantap pagi.

Sekitar pukul 11.00 WIB cuaca sudah lebih baik. Angin masih berhembus dengan kencang namun tidak diikuti dengan hujan. Kemudian kita putuskan untuk segera melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Jobolarangan yang belum sempat kita datangi di sore harinya.


Setelah berjalan sekitar 15 menit akhirnya kita sampai di puncak Jobolarangan. Di sana medannya relatif terbuka dan terdapat sebuah petilasan, berupa batu yang ditata menyerupai taman, dan di salah satu batunya tertulis tulisan “Ponorogo”.  Di sini saya belum tahu pasti apa maksud dari petilasan tersebut.

Disebelah nya terdapat lubang berkuran kira – kira 1 meter persegi dengan kedalaman lebih kurang 1 meter juga.

Melihat bentuknya yang rapi dan presisi kemungkinan tempat itu digunakan untuk penampungan air, atau mungkin digunakan untuk bertapa oleh pertapa. Mungkin supaya lebih hangat, dan tidak begitu terpengaruh dengan perubahan cuaca yang relatif cepat. Hehe.... ini hanya sebatas analisa pribadi..... :D

Berdasarkan informasi dari salah seorang warga, konon katanya ada seorang dari daerah Jawa Timur yang bertapa di Gunung Jobolarangan selama beberapa tahun. Dan kadang kala keluarganya datang untuk menjenguk dan melihat keadaan pertapa tersebut. 

Namun demikian menurut saya perlu di cross check terlebih dahulu kepada pihak lain maupun dengan literatur – literatur yang lain untuk mencari kebenaran dari cerita tersebut.
Setelah istirahat sekitar 30 menit, kita melanjutkan perjalanan unuk menuruni Gunung Jobolarangan ke arah selatan.

Dalam perjalanan yang lumayan lama dan melelahkan ini, kita menjumpai banyak sekali kekayaan vegetasi yang dimiliki oleh gunung Jobolarangan. Hutan heterogen yang rimbun dan rindang, disertai dengan semak – semak yang rapat membuat kita takjub. Di satu sisi membuat kita sedikit kesulitan untuk menentukan jalan mana yang harus kami lalui.




Kita juga menemukan jejak binatang buas, dan ada kemungknan bahwa itu adalah jejak sejenis kucing besar atau macan.

Ya .., macan. Satu buah pohon yang berukuran besar memilki batang yang besar pula, dimana disalah satu batangnya terdapat goresan cakar binatang yang jelas. Dua buah bekas cakaran kaki banatang sejenis kucing atau harimau. Dan goresan tersebut terlihat masih hangat. Karena masih jelas dan warnanya masih kontras dengan warna batang pohon yang tidak tergores. Kemungkinan ditempat itulah terdapat harimau yang sedang nongkrong unuk mengawasi mangsanya. Sayang... belum sempat terdokumentasi.... hehe


Selain itu juga terdapat banyak burung – burung, dan sekilas kita melihat burung elang yang dengan gagah mengepakkan sayapnya terbang di atas kita.

Setelah beberapa jam kita eksplorasi, tepatnya pukul 16.30 WIB, akhirnya kita berhasil turun dari hutan gunung Jobolarangan ke daerah tenggara Gunung Jobolarangan. Hal tersebut ditandai dengan perubahan jenis vegetasi yang kita jumpai.

Vegetasi yang kita jumpai mirip dengan yang ada di parkiran Tlogo Dlingo dan Gunung Mongkrang. Yaitu kolonjono/rumput gajah dan semak – semak.

Karena hari keburu gelap akhirnya kita memutuskan untuk segera mempersiapkan tempat untuk ngecamp. Disini terdapat beberapa aliran sungai, sehingga kita tidak perlu khawatir tentang persediaan air kita apabila sudah mulai menipis.

Dalam kondisi hujan dan berkabut, kita tidak sempat melakukan orientasi medan, namun kemungkinan kita turun didaerah yang tidak jauh dari pemukiman penduduk.
Rutinitas seperti biasa kita lakukan, mendirikan bivak, memasak, sholat, dan membuat api unggun kecil – kecilan sekedar untuk menghangatkan badan kita setelah hampir seharian terkena guyuran hujan dan terpaan angin. 

Kemudian kita melakukan evaluasi atas apa yang kita alami seharian. Tentang ekstrimnya cuaca di Gunung Jobolarangan, jalan yang tak terlihat karena tertutup vegetasi,  rimbanya hutan, banyaknya tanda – tanda keberadaan binatang, dan banyak sekali jenis – jenis tanaman yang tidak kita ketahui, dan hingga sampai bagaimana menjaga kelestarian alamnya tak luput dari pembicaraan kami.

Ketika hari menjelang malam, cuaca mulai cerah dan terlihat sebuah desa yang berjarak sekitar 3 – 5 km dari tempat kita. Berdasarkan peta AMS dan peta RBI yang kita bawa, kita menduga bahwa  desa tersebut ialah Desa Genilangit yang masuk dalam wilayah kecamatan Magetan. Namun demikian kita memutuskan untuk segera beristirahat untuk memulihkan stamina, karena keesokan harinya kita harus kembali melanjutkan perjalanan.

Keesokan harinya, senin tanggal 24 Oktober 2016, setelah menjalankan sholat Subuh, kita mempersiapkan sarapan pagi, dan melakukan orientasi medan.  Kemudian kita ketahui bahwa kita berada pada koordinat   7°42'2.60"S,  7°42'2.60"S.

Tak lama berselang terlihat beberapa penduduk yang datang disekitar tempat kita untuk melakukan aktivitas mereka, yaitu mencari makanan untuk ternak.
Akhirnya kita memutuskan untuk bercengkrama dengan penduduk sambil beramah tamah dan berbincang dengan hangat.

Dari perbincangan tersebut kita ketahui bahwa kita berada di dekat Dusun Sukamulya, yang masuk dalam Desa Genilangit. Dan tidak jauh dari tempat kita berbivak terdapat dua buah air terjun yang bernama Air Terjun Tirtosari.

Air Terjun ini sangatlah indah. Terlihat kealamiannya dan kejernihan airnya. Sungguh luarbiasa kekuasaan Tuhan. Kemudian kita putuskan untuk melihat – lihat air terjun tersebut sambil mengambil beberapa gambar sebagai dokumentasi kita.
Setelah itu kita menuju ke margitengah, yang mana merupakan tempat perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sampai di Margi Tengah kira – kira sekitar jam 12.00 WIB.

Setelah beristirahat sebentar kita akhirnya melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Sewatu yang lokasi nya tidak jauh dari margi tengah.
Jika cuacanya bagus, kemungkinan di puncak Sewatu, kita akan dapat melihat beberapa deretan pegunungan yang berada di sekitarnya. Lokasi yang terbuka akan sangat memungkinkan untuk dapat melihat pegunungan yang berada di sekitarnya dengan memperhatikan kontur yang ada di peta.
Di puncak Sewatu, vegetasinya lebih didominasi oleh rumput dan ilalang, sangat berbeda dengan vegetasi yang ada di Gunung Jobolarangan.

Kemudian kita untuk menuju ke Gunung Girimanik yang mana kita harus berjalan menuju ke arah Gunung Semilir terlebih dahulu. Menuruni Gunung Sewatu, melewati lembah, dan kemudian menyusuri punggungan yang mana di kanan – kiri kita terdapat jurang dan terdengar suara ricihan air sungai.



Dalam perjalanannya kita menjumpai vegetasi yang heterogen. Jalan yang lumayan tertutup membuat kita harus berhati – hati dalam melangkahkan kaki.

Sebelum sampai ke puncak gunung Semilir, kita menjumpai pertigaan, dan kita mengambil jalur ke kanan yang mana kita meyakini arah ini lah yang akan membawa kita menuju ke Gunung Girimanik.

Sekedar penyamaan persepsi, dalam penyebutan gunung – gunung tersebut saya mengacu pada peta RBI, bukan peta AMS. Karena ada beberapa perbedaan penyebutan tempat di kedua peta ini. Begitu pula dengan penyebutan yang di fahami oleh beberapa penduduk. Contohnya penyebutan gunung Girimanik di peta RBI, dipeta AMS disebut Gunung Semar. Dan pendudukpun ada yang menyebut bahwa itu adalah gunung Semar dan sebagian ada pula yang menyebutnya sebagai Gunung Girimanik. Namun hal itu bukanlah masalah penting selama kita mengetahuinya.


Setelah berjalan kurang lebh 1,5 Jam, akhirnya kita sampai di Gunung Girimanik. Kemudian kita mengambil jalur sebelah kiri, dan mengikuti jalur tersebut yang relatif menurun sampai akhirnya kita sampa disebuah punggungan yang memanjang.


Di sepanjang perjalanan kita akan menjumpai begitu indahnya keanekaragaman vegetasi, Semilir angin, lembabnya udara, nyanyian burung – burung yang bersautan, suara riuhnya air sungai membuat suasana bernuansa alam sempurna.

Di tempat itulah kita istirahat sejenak sembari menyeduh hangatnya teh sambil kembali melakukan orientasi medan.
Setelah lima menit berlalu kita memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan beberapa meter, kita menemukan pertigaan jalan. Dan kita memutuskan untuk mengambil jalur sebelah kiri walaupun itu tertutup.

Di sini perlu lebih berhati – hati dan teliti. Jika kita lurus maka, kita akan berjalan lurus menuju Gunung Sitatang, dan apabila kita mengambil jalur kiri akan membawa kita turun ke daerah Jatisrono, dan apabila kita mengambil jalur yang kanan kemungkinan akan membawa kita ke daerah Girimarto, kecamatan Sidoarjo, tepatnya di daerah Dam Candimuncar.

Dipertigaan yang kita putuskan untuk mengambil jalur kiri tersebut tergambar jelas di peta RBI yaitu batas antar kecamatan yang kemungkinan akan membawa kita menuruni bukit melalui punggungan dan akan membawa kita ke Obyek wsata alam Girimanik, Kec. Slogohimo, Kab. Wonogiri. Pertigaan itu berada di  7°42'56.64"S, 111°10'7.66"T.

Dengan menggunakan golok tebas yang kita bawa, kita akhirnya memutuskan untuk membuka kembali jalur yang sudah tertutup oleh tanaman paku, dan semak – semak. Jalur tersebut sebetulnya jelas ada, mungkin karena sudah lama tidak dilewati orang membuat jalan tersebut menjadi tertutup.

Curam, turun, licin, banyak tanaman paku yang menutupi  jalan, banyak kera, terdapat burung elang yang besar, suara ricihan air sungai yang bisa saja merupakan air terjun, kicauhan burung, dan suasana alam lainnya yang tidak dapat saya deskripsikan mengiringi perjalanan kita.

Setelah kurang lebih 1,5 jam akhrnya kita menjumpai sebuah aliran sungai yang mana aliran sungai tersebut jika kita kuti akan menjelma air terjun yang dikenal dengan sebutan air terjun condromoyo.
Air terjun condromoyo merupakan salah satu air terjun yang berada di obyek wisata alam Girimanik.

Akhrnya kita menyeberangi aliran sungai dan menaiki jalan setapak kira – kira 5 meter kita menjumpai jalan setapak yang besar. Dan kita menyusurinya dan akhirnya tibalah kita di parkiran obyek wisata alam Girimanik, kecamatan Slogohimo, kabupaten Wonogiri.
Kemudian kita putuskan untuk segera berbivak, memasak, dan bersih – bersih. Kenapa kita bersih – bersih, karena di sini air melimpah ruah...., gratis, segar, bersih, jernih, dan tentunya menyegarkan... heheheh.

Keesokan harinya, hari selasa, tanggal 25 Oktober 2016, setelah selesai berkemas – kemas, kita putuskan untuk berhiking ria menuruni obyek wisata Girimanik menuju ke Terminal Slogohimo kabupaten Wonogiri, tepatnya pada pukul 12.15 WIB.



Disepanjang perjalanan kita menemukan pemandangan hutan pinus, ramahnya masyarakat, dan jalan yang relatif menurun hingga jalan besar.

Pukul 16.00 akhirnya kita sampai di jalan Purwantoro – Solo. Setelah mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa bus terakhir menuju Solo ialah jam 17.00, maka kita putuskan untuk segera menjalankan ibadah Sholat Ashar dan selanjutnya makan.

Setelahnya kita pulang menuju Solo dengan menggunakan bus jurusan Purwantoro – Solo.

Finnally, berakhirlah petualangan kita kali  ini, Syukur alhamdulillah kita sampaikan kepada sang pencipta, semoga kedepannya akan mendapatkan petualangan yang lebh baik lagi.


Petuah : 
"Petualanganmu tak seberat kolonjono (rumput gajah) yang ku pikul nak!" 
--by Raf--

Dari pemaparan saya di atas, ada beberapa rekomendasi atau saran yang dapat kami sampaikan, diantaranya :
  1. Buatlah konsep petualangan yang memiliki misi kelestarian hutan, menjaga habitat, mempelajari budaya masyarakat, penelusuran sejarah serta peningkatan dan pengembangan potensi pariwisata alam.
  2. Cobalah melakukan eksplorasi ke daerah Bulukerto, Jatipurno, Girimarto, maupun ke Jatiyoso yang mana dalam peta terlihat bahwa jalur pegunungan ini terhubung antara punggungan satu dengan punggungan yang lain, dan kemungkinan terdapat jalan yang mungkin bisa kita tempuh.
  3. Saya ucapkan selamat berpetualang dengan berpegang teguh pada kelestarian alam, jika tidak bisa memperbaiki dan membuat alam menjadi lebih baik, minmal jangan lah sampai kita merusaknya.


Wassalam....
Suset








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VIRUS PETUALANGAN Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Gambar tema oleh richcano. Diberdayakan oleh Blogger.